Cukuplah Allah

Jika berempati saja tidak bisa, itu artinya kita mesti berdoa meminta hati yang lain. Apatah lagi, jika masih mengkritisi mereka yang membela saudaranya yang terdholimi. Lebih parah lagi, jika kemudian ikut memberitakan keburukan saudaranya yang terdholimi dan menuduh saudara yang membela dengan aneka sebutan tak mengenakan hati.

Andai kita tak kuasa mencintai, maka janganlah kemudian kita membenci. Cukuplah diam sebagai bukti bahwa iman memang lemah di dada. Sehingga lisan tak kuasa berucap dan tubuh seakan lumpuh untuk bertindak.

Maka cinta, menuntut semuanya dari kita. Harta kita, waktu kita, potensi kita, dan semuanya. Pun, dengan jiwa yang hanya satu ini.

Semoga kita bisa menjadi mereka yang melakukan kebenaran, yang mendukung kebenaran atau yang tidak membenci kebenaran dan para pelakunya.

Mari seksamai Firman Sang Maha Kuasa, “Sesungguhnya orang yang beriman itu bersaudara.” Layakkah kita mengaku saudara ketika di sana dibantai sementara kita sibuk mencaci mereka yang membantu saudara terbantai tersebut? Layakkah mengaku beriman, jika ada sahabat yang dihajar, kemudian ada yang datang membantu, sementara diri sibuk menghajar saudara pembantu dengan aneka celaan dan hinaan?

Cukuplah Allah, Cukuplah Allah, Cukuplah Allah. Nashrun Minallah, wa fathun qoriib, insya Allah, insya Allah, insya Allah. Aamiin, aamiin, aamiin ya mujibas saa iliin.

Leave a comment