Buku Anak; Rancangan Peradaban

Poster Lomba Blog Pameran Buku Bandung 2014

Poster Lomba Blog Pameran Buku Bandung 2014

Anak adalah generasi baru yang akan meneruskan perjuangan orang tua dan bangsanya. Keberadaan mereka amatlah penting guna keberlangsungan sebuah peradaban. Sebab itulah, anak-anak menjadi rebutan antara pembangun dan pengacau sebuah peradaban.

Sebagai generasi yang lebih dulu lahir (orang tua), kita haruslah menjaga anak-anak dengan baik. Caranya dengan memberikan pendidikan kepadanya secara layak dan sesuai dengan nilai peradaban yang kita usung.

Mendidik anak adalah menanamkan karakter. Jalannya bisa bercabang. Baik melalui pendidikan yang dimulai sejak ibu mengandung hingga sang anak tumbuh menjadi remaja-dewasa. Di dalamnya terdapat banyak cara. Melalui contoh langsung dari orang tua, belajar dari lingkungan, melalui tontonan, dongeng maupun buku-buku.

Di sinilah pentingnya keberadaan buku untuk anak-aanak dan media pembelajaran lainnya. Sebab di masa anak-anak itu, ingatan amat tajam dan bisa merekam banyak aktivitas yang dia lakukan; termasuk tentang apa yang dibaca.

Novel Lima Sekawan yang diterjemahkan dari karya penulis asal Inggris, merupakan salah satu serial 21 jilid yang banyak digemari di negeri ini di era 80-an.

sumber gb: sijalang.blogspot

sumber gb: sijalang.blogspot

Novel debutan Enid Blyton ini menjadi buku yang paling banyak diterjemahkan di berbagai negara. Buku ini  mengisahkan lima sekawan yang memiliki ketertarikan yang tinggi dalam hal berpetualang. Ia adalah Julian, Dick, Anne dan George dan anjing mereka, Timmy.

George adalah seorang perempuan. Nama aslinya Georgia. Tentang panggilannya George, sebab ia tidak mau diidentikkan dengan perempuan. Ialah sosok tomboi yang ingin menjadi lelaki sebab tak mau diidentikkan dengan lemah. Ia ingin menunjukkan; meski perempuan, sejatinya dirinya bisa pula menjadi seperti lelaki dalam peran dan kekuatan.

Terlepas dari manfaat dan maksud penulis yang hendak menanamkan jiwa analisa dan keingintahuan yang tinggi pada diri anak, amat banyak kita temukan catatan dalam buku ini. Seperti bias gender, pentingnya pendampingan orang tua dalam aktivitas anak, bias pendidikan gila harta melalui perburuan harta karun dan banyak lagi hal lainnya.

Dalam konteks agama, dimana kita adalah seorang muslim, negeri ini juga mayoritas muslim, muatan buku ini akan lebih bermasalah lagi jika disandingkan dengan bagaimana seharusnya seorang muslim mendidik anaknya.

Di awal sudah disebutkan, anak adalah saraa untuk menanamkan karakter. Diperlukan prioritas tentang apa yang hendak ditanam terlebih dahulu. Apalagi, sudah amat banyak teladan dari Rasulullah Saw dan generasi sahabatnya tentang bagaimana mendidik seorang anak.

Maka penting untuk mengisahkan perjuangan para Nabi, sahabat dan pejuang Islam lainnya. Sebab dengan itu, akan tertanam dalam benak sang anak tentang konsep hidup yang amat asasi. Anak-anak dengan materi tauhid yang bersih di masa kecilnya, ketika remaja-dewasa dan kelak menjadi orang tua, tak akan gamang dalam menapaki hidup yang kian ganas ujian serta cobaannya.

Hanya saja, anak-anak adalah sosok pemain yang tak suka bertafakkur. Ia suka dengan gambar, semua jenis mainan serta apa yag dilihat dari orang tuanya.

Maka dalam rangka merayu mereka agar gemar menekuni buku-buku anak, diperlukan kombinasi kesungguhan tekad dari orang tua, buku-buku edukatif banyak warna dan animasi serta terobosan cara yang bisa membuatnya terlibat secara langsung dalam proses itu.

Tentunya, diperlukan riset yang mendalam tentang keadaan psikologi anak. Sehingga buku yang hadir di tengah-tengah mereka memang layak konsumsi dengan nilai gizi yang super tinggi.

Kabar gembiranya, dewasa ini, kita sudah mendapati banyak sekali buku anak dengan kemasan yang amat menggoda. Mulai harga ribuan hingga ratusan ribu. Hal itu terjadi karena banyaknya penerbit yang berlomba dalam menyediakan buku untuk anak-anak dengan kualitas terbaiknya. Sehingga, ranah ini bisa menjadi ladang yang menguntungkan banyak pihak.

 

smbr gb: lailarachmani (Blog); cth sampul buku anak

smbr gb: lailarachmani (Blog); cth sampul buku anak

Garis besarnya, buku untuk anak haruslah berisi panduang; bagaimana seharusnya mereka bertumbuh menjadi dewasa dengan cara yang benar, bukan sebaliknya. Sebab ia adalah bekal. Andai salah, hasilnya pun mustahil benar. Dan, akan amat sulit untuk memperbaikinya.

Penting diwasapadai, seiring maraknya penyusupan materi dalam buku anak tentang sesuatu yang menyimpang (penyimpangan seks, dukungan terhadap kaum penyuka sesama jenis dan sejeninsnya), orang tua haruslah menjadi garda terdepan yang menyaring materi ini.

Semoga dengan itu, anak-anak kita bisa menjadi sesosok imam Syafi’i yang di usia 7 tahun sudah hafal al-Qur’an dan tak jauh setelahnya, telah hapal kitab al-Muwatha’ yang kita sendiri saja –meski sudah tua- tak piawai dalam membaca dan memahaminya.

 

Tulisan hari kedua #LOmbaBlog #PameranBukuBandung2014

Cukuplah Allah

Jika berempati saja tidak bisa, itu artinya kita mesti berdoa meminta hati yang lain. Apatah lagi, jika masih mengkritisi mereka yang membela saudaranya yang terdholimi. Lebih parah lagi, jika kemudian ikut memberitakan keburukan saudaranya yang terdholimi dan menuduh saudara yang membela dengan aneka sebutan tak mengenakan hati.

Andai kita tak kuasa mencintai, maka janganlah kemudian kita membenci. Cukuplah diam sebagai bukti bahwa iman memang lemah di dada. Sehingga lisan tak kuasa berucap dan tubuh seakan lumpuh untuk bertindak.

Maka cinta, menuntut semuanya dari kita. Harta kita, waktu kita, potensi kita, dan semuanya. Pun, dengan jiwa yang hanya satu ini.

Semoga kita bisa menjadi mereka yang melakukan kebenaran, yang mendukung kebenaran atau yang tidak membenci kebenaran dan para pelakunya.

Mari seksamai Firman Sang Maha Kuasa, “Sesungguhnya orang yang beriman itu bersaudara.” Layakkah kita mengaku saudara ketika di sana dibantai sementara kita sibuk mencaci mereka yang membantu saudara terbantai tersebut? Layakkah mengaku beriman, jika ada sahabat yang dihajar, kemudian ada yang datang membantu, sementara diri sibuk menghajar saudara pembantu dengan aneka celaan dan hinaan?

Cukuplah Allah, Cukuplah Allah, Cukuplah Allah. Nashrun Minallah, wa fathun qoriib, insya Allah, insya Allah, insya Allah. Aamiin, aamiin, aamiin ya mujibas saa iliin.

Salam Sepenuh Cinta

Andai semua kita bisa menahan diri untuk tidak selalu mengatakan apa yang tidak atau sedikit diketahui, maka itu adalah jalan terbaik untuk tidak menyakiti saudara kita.

Karena sejatinya, komentar buruk, prasangka tak baik, adalah pertanda lemahnya iman. Pertanda jauhnya kita dari akhlak sang Nabi. Bukankah Manusia Teladan itu, tugas utamanya adalah menyempurnakan akhlak manusia? Lantas, mengapa kita serta mertamerasa menjadi paling benar ketika melihat sesuatu tak sesuai dengan isi otak kita?

Bukankah tindakan nabi membiarkan arab badu’i menyelesaikan kencingnya di masjid adalah teladan nyata? Lantas, mengapa kita masih sibuk mengkritisi saudara yang sama islamnya, sama shalatnya, hanya karena dia memilih berbeda jalan dalam berjuang? Kita sibuk mencari aibnya hanya karena dia hafal kitab suci kemudian digulingkan oleh musuh-musuhnya?

Ah, nampaknya yang bicara inipun tak banyak tahu. Hanya sebuah pengingat diri. Cukuplah kita mengatakan yang baik, yang kita ketahui kebenarannya. Atau memilih diam dan berdoa agar semua mendapatkan yang terbaik sesuai KuasaNya.

Sungguh! Perkataan buruk itu, tak menghasilkan apa-apa bagi mereka yang dijadikan objek. Keburukan kata-kata itu, cepat atau lambat, hanya dan hanya akan kembali menimpa pelakunya.

Hati-hati. Maafkan setiap khilaf yang terlontar. Yang sengaja atau tidak, yang besar atau yang kecil, yang tersembunyi atau terang-terangan.

Salam sepenuh cinta.

Drama Terorisme ‘Urung’ Ditayangkan

486648_493811947296230_208560504_n

 

Para Pemirsa yang dirahmati Allah,

Ternyata Drama Terorisme urung dimainkan karena tidak seksi lagi. Pihak Sutradara dan Produser bersepakat untuk kembali memperagakan Drama Arogansi atas nama Pemberantasan Korupsi.

Apapun yang anda tonton, kami himbau agar tetap memperhatikan satu kata : konspirasi. Karena dibalik yang tersurat, pasti ada yang tersirat. Di balik tayang, pasti ada yang di balik layar. Sebagaimana fenomena gunung. Yang ditaman di dalam bumi, jauh lebih banyak dari bagian yang terlihat.

Maka, sekali lagi, Anda perlu satu kata : arif. Ariflah dalam membaca berita, ariflah dalam menyikapi berita. Jika yang anda lakukan adalah antonim dari arif, maka dampaknya sungguh sangat berbahaya : benar disalahkan, apalagi salah?

Arif juga membuat kita berjalan sesuai garis. Tidak reaktif, tidak juga fanatik buta. Karena kebenaran, pasti akan menang. Maka, yang menang bukanlah yang paling banyak membunuh, tapi siapa yang bisa lebih lama bertahan.

Itu nasehat ustadz. Nasehat beliau yang lain, “Jangan kehilangan cara untuk bahagia. Badai memang telah berlalu. Tapi di belakang sana, pasti ada badai yang mungkin lebih besar.”

Maka, tetaplah bertahan dan bersiap siagalah. Tetaplah ‘berpegangan’ ke langit, agar kita kokoh di bumiNya.

Sekian sekilas info. Selamat kembali beraktivitas. Selamat makan siang. Dan, kami ucapkan terima kasih karena berkenan membaca siaran ini. Semoga anda semua, tambah disayang Allah. Aamiin.

Salam Cinta, Semangat Bekerja, niscaya kita akan hidup dalam Harmoni.

Mencium Pipi Kanan Syeikh Saad al-Ghamidi

318745_10151215443929907_1250436863_n

Jika Maksud Kita Tulus, Alam akan Menyertai. Begitulah tema yang diangkat oleh Majalah Tarbawi edisi 293. Bagi saya, kehadiran majalah dwi pekanan ini, seperti kehadiran inspirasi di tengah rimba raya informasi yang seringkali membinasakan akal dan rasa. Tarbawi, tak ubahnya oase di tengah sahara. Selalu dinanti, sesal untuk dilewati.

Sekitar dua pekan setelah edisi ini terbit, saya menemukan bukti tak terbantahkan dari tema utama majalah yang digawangi oleh Ahmad Zairofi AM ini. Ketika itu, Jakarta tengah mengadakan Hajatan Akbar bernama Indonesia Menghafal yang diadakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK). Dalam acara tersebut, ustadz Yusuf Mansyur dan PPPA Darul Qur’an mengundang Qori’ kenamaan asal Saudi, Syeikh Sa’ad al-Ghamidi. Bersama beliau, hadir pula beberapa syeikh dari timur tengah. Antara lain Syeikh Ali basyfar dari Qatar, Syeikh Yusuf dari Palestina, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Momen ini adalah kesempatan emas bagi seluruh kaum muslimin dimanapun mereka berada. Apalagi, bagi mereka yang intens interaksinya dengan al Qur’an. Terlebih lagi, bagi mereka yang gandrung dan takjub dengan Kuasa Allah yang telah memberikan suara emas kepada Syeikh al- Ghamidi. Begitupun dengan saya.

Sayangnya, kesibukan seakan tiada habisnya. Meskipun telah merencanakan sejak lama, nyaris saja saya tidak bisa mengikuti acara super ini.

Tepat sehari sebelum hajatan akbar itu, saya baru melakukan transfer untuk registrasi. Itupun ketika malam mulai larut sepulang dari acara. Ada ketentuan bahwa peserta harus menyetor hafalan surah an-Naba’ 1-40 dan surah al-Baqarah 1-50. Ada banak keraguan, karena memang 50 ayat pertama surah al-Baqarah belum sempurna saya hafal. Maka, dengan ragu, saya kirimkan pesan singkat kepada panitia, “Maaf pak, apakah yang belum hafal boleh ikut acara di GBK?” Dengan berharap cemas untuk diijinkan, jawaban sang panitia pun mampir ke ponsel dengan nada menyenangkan, “Iya, mas. Tidak apa-apa. Silahkan hadir.”

Hari yang dinanti pun tiba. Bayangan wajah teduh Syeikh al-Ghamidi menghiasi mimpi saya malam itu. Meski belum pernah bertatap muka, air teduh wajahnya benar-benar hadir. Terang sekali. Seketika setelah bangun dan menyadari bahwa pertemuan itu adalah mimpi, saya langsung bergumam lirih, “Ya Allah, pertemukan aku dengan beliau. Bukan lantaran pengkultusan, tapi karena saya mencintai beliau karenaMu.”

Jadwalpun saya susun rapi. Jam berapa berangkat, mau bawa apalagi, rute yang harus saya lewati dari kontrakan ke GBK, dan seterusnya.

Sayang bukan kepalang, pagi harinya lelah begitu menyergap. Akhir pekan. Banyak amanah yang belum ditunaikan, meski upaya sudah mendekati maksimal. Maka pada hari dimana acara akbar itu digelar, tepat setelah sholat subuh, dimana seharusnya saya mandi dan bersiap diri, yang terjadi justru sebaliknya : ketiduran.

“Innalillahi,” ucap saya lirih setelah terbangun dari ketiduran. Waktu sudah menunjukkan pukul 8. Padahal Majlis Qur’an itu dimulai jam 6 pagi. Sambil merutuki kelalaian diri, sembari terus beristighfar, saya langsung bergegas melakukan persiapan. Seketika itu juga, muncul banyak bisikan, “Sudahlah. Kamu gak usah berangkat. Buat apa? Kamu sudah terlambat. Lain kali saja ketemu syeikh al-Ghamidi-nya.” Beruntunglah, sajian utama Tarbawi edisi itu terputar jelas dalam ingatan saya, “Jika Maksud Kita Tulus, Alam akan Menyertai.” Benar-benar ampuh! Saya seperti terhipnotis dengan kalimat itu.

Dengan Bismillah, langkah pun dimulai. Meski bisikan-bisikan buruk itu, tetap terngiang. Disepanjang perjalanan, ujian tak kunjung surut, malah menjadi pasang. Mulai dari angkot yang tak kunjung tiba, naik bus way berdesak-desakan, macet, panas dan seterusnya. Guna menebalkan yakin, saya tetap menyempatkan diri membaca Tarbawi edisi itu sebagai teman untuk berbagi gundah, berharap mendapat cerah.

Sekitar pukul 10.30 barulah saya sampai di GBK. Bisikan untuk pulang kembali menguat ketika melihat banyak orang yang mulai keluar dari GBK. Di luar GBK saja, sudah banyak jama’ah yang rehat. “Sepertinya acara telah selesai.” Ucap hati lirih.

Hingga akhirnya, Allah mengantarkan saya sampai di gerbang masuk GBK yang digunakan oleh peserta parade al-Qur’an. Dengan tanpa ragu, saya masuk dengan mempersiapkan bukti transfer untuk menukar tiket. Tak dinyana, di sana tiak ada petugas. Malahan, saya sempat mendengar panitia berkata, “Tiket habis, silahkan masuk saja.Gratis.”

Dengan tanpa merasa bersalah, berbekal niat tulus itu, saya berjalan lurus mendekati panggung. Di depan panggung masih ‘steril’ dari pengunjung. Hanya ada beberapa panitia dan kru media peliput acara. Entah karena apa, panitia tidak mencegah saya memasuki area ‘terlarang’ itu. Saat itu, tanpa saya duga, ternyata syeikh al-Ghamidi baru saja naik panggung. Benar-benar diluar prediksi saya yang mengatakan,”Pulang sajalah, Syeikh sudah gak ada. Acara sudah selesai.”

Beliau mulai menggetarkan GBK dengan lantunan surah al-Fatikhah. Saya terus saja berjalan mendekat panggung. Setelah jaraknya tinggal beberapa meter, mata saya langsung diguyur buliran halus lantaran suara merdu bertenaga dari salah satu Syeikh anggota Ikhwanul Muslimin itu. Setelah al-Fatikhah, beliau membaca an-Naba’. Seperti mimpi semalam, kini wajah beliau benar-benar bisa saya saksikan dengan jelas. Tinggi, putih, kekar, tampan, hidung mancung, jenggot tebal rapi, dan yang terpenting : sholih dan hafidz Qur’an.

Ini benar benar keajaiban, bisikku dalam hati. Ini adalah tafsir yang sangat jelas dari kalimat itu, Jika Maksud Kita Tulus, Alam akan Menyertai. Maka sepanjang acara, panasnya surya seakan sejuk. Meskipun dengan berdiri mematung, berlinang air mata, di depan panggung berpayung terik surya.

Sekitar satu jam, rangkaian acara berlangsung. Ketika Syeikh dan rombongan menuruni panggung, saya berjalan ke arah beliau dari balik panggung. Di sana sudah banyak orang yang antri untuk menciumi tangan Syeikh. Yang membuat saya takjub, ternyata Syeikh menyedekapkan kedua tangannya di dada. Nyaris saja, tidak ada orang yang bisa mencium tangan beliau. Panitia terlihat dengan susah payah menghalau para ‘penggemar’ Syeikh.

Seperti mendapat ilham, saya melangkah. Kemudian berhenti tepat di jalur yang akan dilalui Syeikh. Dalam hitungan detik, Syeikh lewat di depan saya berdiri. Dengan tanpa berpikir, saya langsung maju dan mencium pipi kanan Syeikh. Begitu saja. Anehnya, tak ada panitia yang menghalangi. Sesaat setelah mendaratkan bibir di pipi kanan Syeikh, saya mundur. Kemudian menerawang, “Subhanallah, ini benar-benar mimpi yang menjadi nyata.”

Saya pun pulang dengan hati sumringah. Sembari terus berpikir dan berbicara pada diri sendiri, “Ini buktinya. Tuluslah. Niatkan karenaNya. Maka, kuasaNya bukan sekedar kisah. Ingatlah, Jika Maksud Kita Tulus, Alam akan Menyertai.” Maha benar Allah dengan FirmanNya, benarlah Tarbawi dengan sajian dan inspirasinya.

Tarbawi 293

Cinta, Kerja, Harmoni

www.pksnongsa.org

www.***nongsa.org

 

Cinta itu seperti arus dalam aliran listrik. Tidak berbentuk, tapi dayanya terasa. Lampu pun menyala karena aliran arus listrik itu.

Kerja adalah bukti cinta. Dua hal ini, cinta dan kerja, seperti dua sisi mata uang. Cinta tanpa kerja : bohong. Kerja tanpa cinta : ompong. Maka, buktikan cintamu dengan bekerja. Buat gelegar kerjamu dengan cinta.

Kedua kata itu, akan lebih ‘cetar membahana’ dengan Harmoni. Ia semacam guidance. Rambu-rambu. Karena segalanya, harus penuhi kriteria : pertengahan. Pertengahan inilah yang dimaksud dengan harmoni. Tidak berlebih-lebihan.

Maka, cinta yang menyejarah adalah cinta pertengahan. Sesuai dosis, sesuai tujuan. Seberapa besar seharusnya kita mencintai Allah, RasulNya, kaum mukminin juga umat manusia seluruhnya.

Begitupun dengan kerja. Bukan membabi buta. Bukan pula mengerjakan semua. Tapi sesuai tupoksi yang diberikan. Jika Allah memerintahkan kita maghrib tiga roka’at, misalnya, maka kerjakan sebanyak itu. Jangan ditambah atau dikurangi. Dan, seterusnya.

Maka, Cinta, Kerja dan Harmoni adalah sebuah sinergi padu. Bahwa semua yang kita lakukan, harus berlandaskan cinta, berbukti kerja dan berjalan dalam harmoni.

Jika ini yang telah dilakukan, maka menang dan kalah bukan lagi soal angka. Tapi terletak pada seberapa kuatkah kita memeperjuangkan nilai.

Mari mencintai, Mari bekerja, Mari berharmoni.