Segenggam Iman Anak Kita

Segenggam Iman Anak KitaJudul                           : Segenggam Iman Anak Kita

Penulis                         : Mohammad Fauzil Adhim

Penerbit                       : Pro-U Media – Yogyakarta

Tebal                           : 288 Hal ; 14×20 cm

Cetakan                       : III, Desember 2013

ISBN                           : 978-602-7820-07-4

Anak adalah amanah dari Allah. Ia bisa juga berperan sebagai ujian. Banyak anak yang menjadi sebab kebahagiaan bagi orangtuanya, dunia dan akhirat. Pun, sebaliknya. Tidak sedikit anak yang justru menjadi sebab dijerumuskannya orangtua ke dalam sengsara dunia dan siksa neraka.

Maka anak, bukanlah variabel tetap. Baik dan tidaknya, tergantung pada bagaimana pendidikan yang diberikan oleh orangtua mereka. Inilah yang menjadi tafsir, mengapa Rasulullah bersabda bahwa semua anak terlahir dalam keadaan suci. Orangtuanyalah yang membuat anak menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Anak juga menjadi satu dari tiga hal yang bermanfaat bagi seseorang selepas mati. Bahwa semua amal akan terputus bersamaan dengan datangnya kematian, kecuali amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan bapak-ibunya.

Mendoakan bapak-ibunya, hanya bisa dilakukan oleh anak shalih/ah. Maka dengan kata lain, jika menghendaki investasi amal yang akan terus bersambung meski jasad telah berkalang tanah, adalah mendidik anak yang diamanahkan agar menjadi pribadi shalih/ah.

Bukan hal yang mudah untuk mendidik anak. Pasalnya, banyak kita dapati kasus yang kadang tak masuk dalam logika. Tentu, semua hal itu bermaksud baik. Salah satunya, agar kita menyadari bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Adam as. adalah seorang nabi. Tapi anaknya, Qabil, adalah manusia pertama yang melakukan kejahatan pembunuhan. Bukan orang lain yang dibunuh, tapi saudara kandungnya sendiri. Selepas Adam as., ada juga Nuh as. Beliau adalah seorang Rasul. Shalih sudah pasti, dekat dengan Allah sudah menjadi jaminan. Beliau berdakwah siang dan malam dalam kurun usia 950 tahun. Meski begitu, anaknya yang diriwayatkan bernama Kan’an, menjadi pembangkang yang nyata. Hingga akhirnya tenggelam dalam banjir azab. Sebelumnya, Nuh as. sudah membujuk anaknya. Tapi sombongnya mendominasi hingga akhirnya mati dalam keadaan kafir.

Hal sebaliknya kita dapati pada pribadi Ibrahim as. Bapaknya, Azar, adalah seorang musyrik. Bukan hanya menyembah selain Allah, bapaknya itu adalah pembuat Tuhan. Luar biasa! Tuhan bisa dibuatnya. Dengan perantara orang kafir itu, terlahirlah Ibrahim as. yang kemudian melahirkan Ismail as, Ishaq as, dan banyak nabi lainnya hingga tersambung kepada Nabi Muhammad saw.

Ibrahim as. yang dikenal sebagai kholilullah adalah nenek moyang dari banyak Nabi. Beliau juga banyak dipuji oleh Allah. Ibadah Haji, Qurban, Khitan, adalah beberapa jenis ibadah yang dinisbahkan sebagai mengikuti sunnah Rasulullah yang mulanya dipraktekan oleh Nabi Ibrahim as.

Lantas, apa yang bisa kita simpulkan dari proses mendidik anak itu sendiri? Karena seorang ayah sama sekali tidak bisa menjamin iman bagi anaknya sekalipun. Begitupula sebaliknya.

Mohammad Fauzil Adhim, melalui bukunya ini, mengajak pembaca untuk merenung lebih mendalam tentang proses pendidikan kepad anak. Dengan bahasa khasnya yang mengalir dan sarat makna, beliau hendak menuturkan kepada kita tentang apa yang seharusnya dilakukan.

Di dalam buku yang cetak ulang dalam dua pekan ini, penulis menjelaskan bahwa dalam mendidik anak, yang pertama kali harus dilakukan adalah mencurahkan kasih-sayang. Perasaan inilah yang kelak akan menghasilkan kebaikan. Syaratnya, harus merujuk kepada firman Allah dan sunnah Rasulullah. Artinya, kasih-sayang di sini dipagari oleh keduanya.

Beliau juga menerangkan kepada pembaca tentang pentingnya mengambil hati anak. Baik dari sudut pandang Islam maupun ilmu Psikologi yang menjadi spesialis studi penulisnya. Tak ketinggalan, banyak kiat-kiat teknis yang bisa kita lakukan agar mewujudkan apa yang kita hajatkan berupa anak yang shalih/ah.

Buku ini juga menyadarkan kepada kita. Bahwa cerdas, terampil, dan aneka skill kognitif lainnya, tidaklah cukup bagi anak-anak kita. Mereka memerlukan moral yang baik dalam berinteraksi dengan diri dan sesamanya, juga tentang akidah. Agar kelak, anak-anak kita menjadi penyembah-Nya semata dan tidak menduakan-Nya dengan apapun selain-Nya.

 

Dimuat di: Bersama Dakwah

Leave a comment