Buku adalah lambang peradaban. Semakin maju sebuah peradaban, maka tingkat kebutuhannya kepada buku semakin tinggi. Begitupun sebaliknya; sebuah masyarakat yang acuh terhadap buku bergizi dan sibuk dengan buku murahan secara konten, maka mustahil bagi masyarakat itu untuk merebut sebuah peradaban yang dibahsakan oleh al-Qur’an dengan frasa; dipergilirkan.
Membincang kualitas sebuah buku, mustahil melepaskannya dari peran penerbit yang merupakan produsen buku. Dewasa ini, penerbitan sudah beralih dari usaha rumahan menjadi sebuah industri bisnis dengan keuntungan yang amat menjanjikan.
Sedikit ulasan saja, dalam sekali cetak buku, dimana penerbit biasa meproduksi di kisaran 3.000 sampai 5.000 eksemplar perjudul. Jika biaya produksi per eksemplar adalah Rp 25.000,- maka biaya produksinya sudah mencapai angka Rp 75.000.000,- sampai Rp 125.000.000,-
Jika buku dengan biaya cetak Rp 25.000,- itu dijual di pasaran dengan harga Rp 100.000,- per eksemplar, maka didapat angka penjualan sebanyak Rp 300.000.000,- hingga Rp 500.000.000,-
Belum lagi menghitung gaji awak penerbit hingga bagian poduksi dan seterusnya. Jika kita meneliti sampai bawah -tingkat distributor terkecil-, maka dari satu buku saja bisa menghidupi banyak individu.
Belum lagi masalah kertas dan sebagainya. Sehingga, industri penerbitan ini sama sekali tidak boleh dipandang sebelah mata. Kuncinya ada pada idealisme dan fokus. Jika dua hal itu tidak ada, maka banyaknya penerbit berumur jagung adalah contoh nyata dari gagalnya mereka memeihara dan menumbuhkan niat dan fokus dalam berbisnis buku.
Menjadikan Buku Menarik
Kajian tentang bagaimana membuat sebuah buku menarik pembaca, tentu menjadi makanan sehari-hari bagi penerbit. Apalagi bagi penerbit besar yang memang berkutat di bidang itu.
Dalam tulisan singkat ini, ada sedikit analisa; mengapa sebuah buku menarik bagi pembaca.
- Petakan Pembaca
Tidak semua orang menyukai bakso. Mustahil jika semua manusia menggemari mie ayam. Tapi amat mungkin; sekumpulan masyarakat menjadi pencinta dan maniak buku.
Bagi penerbit, peta pembaca sudah pasti ada. Meliputi usia, lingkungan, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
Maka pada penerbit-penerbit besar selalu memiliki divisi. Seperti divisi khusus buku anak, buku remaja, novel, buku agama (Islam,dll), rujukan, dan sebagainya.
Pemetaan yang bagus menjadi kunci amat penting bagi laku atau tidaknya sebuah buku. Dan berpengaruh sangat positif terhadap kelangsungan penerbit itu sendiri.
Bayangkan saja, jika ada buku yang berkali-kali cetak dan dibutuhkan berbagai lintas generasi, maka buku tersebut bisa dicetak sampai puluhan kali dengan jumlah setiap kali cetak ribuan eksemplar. Dalam hal ini, tak sedikit penerbit yang bertahan hidup dengan menggantungkan nasib pada buku jenis ini.
- Kualitas
Setelah dipetakan, bisa difahami dengan baik selera pembaca dan bagaimana mengambil hatinya.
Kalangan pemula dan yang masih asing dengan dunia buku, bisa ditarik dengan kualitas sampul, rekomendasi dari penulis yang menjadi publik figur, sinopsis yang memukau dan promosi yang ciamik.
Bagi mereka yang berada di tingkat menengah, biasanya melihat kredibiltas penerbit dan fanatik dengan penulis favoritnya. Maka penting bagi penerbit untuk “menyandra” penulis-penulis profesional dan berpasar untuk hanya menulis di tempatnya.
Karena, penulis jenis ini, akan selalu diburu karyanya. Pun, ketika belum ada karya yang terbit, karya yang lama akan selalu dicari, digemari dan dikeroyok penggemarnya.
Bagi kalangan yang berada setingkat di atasnya, sediakan buku-buku rujukan dengan harga yang melangit. Ini adalah strata teratas. Mereka sama sekali tak memandang harga. Ukurannya adalah kepuasaan; fikiran dan batin. Mereka akan selalu mencari dan menelaah apa yang dibutuhkan oleh akal dan jiwanya. Dan, mereka mendapatkannya melalui banyak buku yang dinikmati.
- Jangan Remehkan Peresensi
Inilah masalah yang sering diabaikan. Banyak penerbit yang tim promosinya abal-abal. Bahkan, ketika ada pembaca fanatik yang dengan suka rela menawarkan diri untuk menawarkan jasa marketing dengan hanya meminta buku yang akan dipromosikan, banyak di antara penerbit yang antipati.
Ya, peresensi. Merekalah salah satu ujung tombak laris dan tidaknya sebuah buku. Amat banyak peresensi yang dengan sukarela menawarkan jasa resensinya, padahal hanya diberi satu buku terkait.
Mereka melakukan itu karena idealisme. Mulanya, mereka berpikir. Bahwa buku yang bagus haruslah direkomendasikan agar semakin banyak orang yang berubah menjadi lebih baik selepas membaca sebuah buku yang bergizi.
Dalam hal ini, amat banyak penerbit besar yang welcome menerima peresensi sebagai tim promosi mereka, dengan tanpa memberikan gaji. Mereka memperlakukan para peresensi dengan amat baik; mulai dari menjalin kerja sama hingga menumbuhkan mereka.
Seperti yang dilakukan oleh Grup Tiga Serangkai, Grup Mizan, dan lain sebagainya. Bahkan, jika resensi yang dibuat oleh peresensi dimuat di media cetak (daerah maupun nasional), mereka dengan tangan terbuka siap mengalirkan rupiah ke rekening para peresensi.
Pada akhirnya, amat susah untuk menyimpulkan hal paling krusial terkait dunia penerbitan di negeri ini. Hanya sebuah pesan; teruslah memproduksi konten yang menarik. Menarik bukan sesuatu yang bombastis. Tetapi sesuatu yang dibutuhkan, aplikatif dan membumi.
Itulah karya-karya yang akan terus dibutuhkan oleh semua orang di lintas zamannya masing-masing. Sebab dari dulu hingga sekarang; nilai kebaikan tak akan pernah berubah.